Menurut pengalaman saya ketika masih sekolah, ada tiga hal yang wajib dilakukan anak sekolah, yaitu belajar, bermain, dan jajan (di kantin ataupun di pedagang depan sekolah). Tengok saja di berbagai sekolah, pasti ada beberapa pedagang yang menjajakan jananannya di depan sekolah ataupun memiliki fasilitas berupa kantin. Tapi pernahkan anak berpikir selain makanan, ada "zat jahat" apa yang masuk ke tubuh mereka? Sebagai orang tua sudah semestinya mulai berpikir ke arah tersebut.
Boraks, Formalin, dan Wanteks, primadona makanan berbahaya
Pasti anda kerap melihat tayangan di salah satu stasiun televisi yang mengupas mengenai jajanan berbahaya. Zat yang terkenal digunakan adalah boraks, formalin, dan wanteks (pewarna tekstil). Yap, contoh dari makanan yang mengandung minimal satu dari ketiga zat berbahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di atas.
Kantin di dalam sekolah mungkin menjadi pilihan untuk memilih makanan yang bebas dari zat berbahaya. Tapi jangan cepat mengambil kesimpulan, bedasarkan hasil pengawasan terhadap Pangan Jajan Anak Sekolah (PJAS) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, selama tahun 2006-2010, sekitar 40-44 persen jajanan anak sekolah belum memenuhi syarat. Salah satunya disebabkan kurang higienitas kantin. Miris memang...
Boraks, formalin, wanteks, ketiga zat tersebut pada dasarnya membuat bahan makanan menjadi awet, kenyal, dan memiliki warna yang menarik. Ketiga bahan tersebut bukan merupakan bahan tambahan pangan sehingga tidak diperbolehkan ada pada makanan. Sebenarnya pedagang dapat menggunakan bahan tambahan pangan yang diijinkan dengan tujuan untuk memperbaiki bukan untuk menutupi. Prakteknya, banyak pedagang yang sudah menggunakan bahan tambahan pangan yang diijinkan tetapi dengan kadar yang berlebihan karena bertujuan untuk menutupi, dan tentu saja hal ini berakibat buruk.
Ketika ada zat yang berbahaya masuk ke dalam tubuh, efeknya tidak langsung terasa, tetapi akan tertimbun di dalam tubuh dan pada kemudian hari baru akan menimbulkan penyakit, seperti kanker hati yang disebabkan oleh boraks pada kurun waktu 5-10 tahun.
Sisi Pedagang
Tidak lengkap rasanya ketika kita tidak melihat dari sisi pedagang makanan berbahaya. Berdasarkan pengakuan pedagang, mereka tidak mengetahui soal zat-zat makanan yang berbahaya dan tidak mengetahui kalau menggunakan borax. Namun mereka berjanji tidak akan menggunakan zat makanan berbahaya lagi (bangkapos.com).
Kurangnya edukasi kepada masyarakat mengenai zat yang berbahaya yang mereka pakai berakibat adanya zat berbahaya pada makanan ataupun berakibat penggunaan zat tambahan pangan yang melebihi batas penggunaan.
Menurut saya, ada faktor kedua, yaitu faktor ekonomi. Pedagang lebih memilih menggunakan pewarna tekstil karena lebih murah harganya daripada pewarna makanan. Jika dagangan tidak laku hari ini, masih dapat dijual besok karena dagangan mereka awet (karena penggunaan boraks, dan formalin). Mereka benar-benar menggunakan prinsip ekonomi, dimana dengan modal yang sedikit, akan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Salah satu tayangan di televisi, membahas dan melakukan reka ulang pembuatan makanan berbahaya. Ini bisa menjadi pedang bermata dua, karena dapat menjadi edukasi kepada pedagang yang tidak mengerti mengenai bahaya zat yang dilarang, ataupun menginspirasi pedagang untuk menggunakan bahan-bahan tersebut agar menekan biaya produksi. Mereka butuh uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Saya yakin, seandainya dagangan mereka laris keras, banyak konsumen yang membeli dagangan mereka, mereka mau kok menggunakan bahan tambahan pangan yang aman. Tingkat kemiskinan yang tinggi, akan memicu tingginya tingkat kriminalitas, termasuk kriminalitas di bidang pangan.
Sikap Konsumen
Lalu apa sikap kita sebagai konsumen? Jadilah konsumen yang pintar
Pasti anda kerap melihat tayangan di salah satu stasiun televisi yang mengupas mengenai jajanan berbahaya. Zat yang terkenal digunakan adalah boraks, formalin, dan wanteks (pewarna tekstil). Yap, contoh dari makanan yang mengandung minimal satu dari ketiga zat berbahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di atas.
Kantin di dalam sekolah mungkin menjadi pilihan untuk memilih makanan yang bebas dari zat berbahaya. Tapi jangan cepat mengambil kesimpulan, bedasarkan hasil pengawasan terhadap Pangan Jajan Anak Sekolah (PJAS) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, selama tahun 2006-2010, sekitar 40-44 persen jajanan anak sekolah belum memenuhi syarat. Salah satunya disebabkan kurang higienitas kantin. Miris memang...
Boraks, formalin, wanteks, ketiga zat tersebut pada dasarnya membuat bahan makanan menjadi awet, kenyal, dan memiliki warna yang menarik. Ketiga bahan tersebut bukan merupakan bahan tambahan pangan sehingga tidak diperbolehkan ada pada makanan. Sebenarnya pedagang dapat menggunakan bahan tambahan pangan yang diijinkan dengan tujuan untuk memperbaiki bukan untuk menutupi. Prakteknya, banyak pedagang yang sudah menggunakan bahan tambahan pangan yang diijinkan tetapi dengan kadar yang berlebihan karena bertujuan untuk menutupi, dan tentu saja hal ini berakibat buruk.
Ketika ada zat yang berbahaya masuk ke dalam tubuh, efeknya tidak langsung terasa, tetapi akan tertimbun di dalam tubuh dan pada kemudian hari baru akan menimbulkan penyakit, seperti kanker hati yang disebabkan oleh boraks pada kurun waktu 5-10 tahun.
Sisi Pedagang
Tidak lengkap rasanya ketika kita tidak melihat dari sisi pedagang makanan berbahaya. Berdasarkan pengakuan pedagang, mereka tidak mengetahui soal zat-zat makanan yang berbahaya dan tidak mengetahui kalau menggunakan borax. Namun mereka berjanji tidak akan menggunakan zat makanan berbahaya lagi (bangkapos.com).
Kurangnya edukasi kepada masyarakat mengenai zat yang berbahaya yang mereka pakai berakibat adanya zat berbahaya pada makanan ataupun berakibat penggunaan zat tambahan pangan yang melebihi batas penggunaan.
Menurut saya, ada faktor kedua, yaitu faktor ekonomi. Pedagang lebih memilih menggunakan pewarna tekstil karena lebih murah harganya daripada pewarna makanan. Jika dagangan tidak laku hari ini, masih dapat dijual besok karena dagangan mereka awet (karena penggunaan boraks, dan formalin). Mereka benar-benar menggunakan prinsip ekonomi, dimana dengan modal yang sedikit, akan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Salah satu tayangan di televisi, membahas dan melakukan reka ulang pembuatan makanan berbahaya. Ini bisa menjadi pedang bermata dua, karena dapat menjadi edukasi kepada pedagang yang tidak mengerti mengenai bahaya zat yang dilarang, ataupun menginspirasi pedagang untuk menggunakan bahan-bahan tersebut agar menekan biaya produksi. Mereka butuh uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Saya yakin, seandainya dagangan mereka laris keras, banyak konsumen yang membeli dagangan mereka, mereka mau kok menggunakan bahan tambahan pangan yang aman. Tingkat kemiskinan yang tinggi, akan memicu tingginya tingkat kriminalitas, termasuk kriminalitas di bidang pangan.
Sikap Konsumen
Lalu apa sikap kita sebagai konsumen? Jadilah konsumen yang pintar
Gambar berbicara banyak. Gambar di atas dibuat oleh BPOM Yogyakarta yang pada intinya mengajak kita untuk mencermati label yang ada. Tugas dari BPOM bagian Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) adalah menerima pengaduan dan memberikan layanan informasi yang berkaitan dengan produk-produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetika, Makanan, Bahan Berbahaya, Narkotika, Psikotropik, Zat Adiktif dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) dan produk yang tidak memenuhi syarat dan atau salah penggunaannya yang dapat merugikan kesehatan (sumber).
Jadi simple-nya, ketika kita mencermati label dan sudah ada ijin dari BPOM berupa nomor pendaftaran, sudah pasti makanan tersebut aman untuk dikonsumsi karena diijinkan beredar oleh BPOM, dan begitu pula sebaliknya. Kita di masa sekarang ini, dituntut untuk menjadi masyarakat yang cerdas dalam memilih makanan yang dimakan. Tidak hanya menjadi konsumen yang "lapar mata" saja.
Be the consumers who trying to eat with their brain, and not using their eyes only.
JKMM
Jadi simple-nya, ketika kita mencermati label dan sudah ada ijin dari BPOM berupa nomor pendaftaran, sudah pasti makanan tersebut aman untuk dikonsumsi karena diijinkan beredar oleh BPOM, dan begitu pula sebaliknya. Kita di masa sekarang ini, dituntut untuk menjadi masyarakat yang cerdas dalam memilih makanan yang dimakan. Tidak hanya menjadi konsumen yang "lapar mata" saja.
Be the consumers who trying to eat with their brain, and not using their eyes only.
JKMM